Kerinduan Anak Tionghoa pada Pantun Banjar
Kerinduan Anak Tionghoa pada Pantun Banjar
Kerinduan Anak Tionghoa pada Pantun Banjar - Kembali Lagi Pada Postingan Kali ini Blog Info-Kita.net Akan Berbagi Informasi Terbaru Khusus Buat Sobat semua yakninya tentang Kerinduan Anak Tionghoa pada Pantun Banjar, semoga bisa Bermanfaat ya Buat Sobat Semua.
Banyak puhun di tebangin
Ongkos Maskapij semuwa bayarin
Rumah orang pada di buka’in
Kepada juraganlah di serahi
Logat anak Tionghoa sangat kental dalam bait syair tersebut dipadukan dengan lingua franca orang betawi dan bahasa pergaulan anak-anak yang terasa nyaman dalam sampiran dan isi syair. Dan, bagi masyarakat luas saat itu logat bicara anak Tionghoa ini akrab dan tak pernah menjadi hambatan dalam berkomunikasi lisan, sehingga ketika logat itu ditulis dalam bentuk syair - semua dapat memahaminya.
Demikianlah informasi yang dapat Info-Kita.net sampaikan. Semoga bermanfaat dan Beguna Hendaknya Buat anda semua pengunjung Blog Ini. dan Terima kasih kepada Sobat Semua yang telah membaca artikel Kerinduan Anak Tionghoa pada Pantun Banjar
Kerinduan Anak Tionghoa pada Pantun Banjar - Kembali Lagi Pada Postingan Kali ini Blog Info-Kita.net Akan Berbagi Informasi Terbaru Khusus Buat Sobat semua yakninya tentang Kerinduan Anak Tionghoa pada Pantun Banjar, semoga bisa Bermanfaat ya Buat Sobat Semua.
Penulis Pantun Banjar - Maria Roesli |
Sebuah acara 'Bincang Buku, Antologi Pantun Banjar' karya Maria Roeslie digelar Banjarmasin Post Group di Gedung Palimasan, Sabtu (27/7) sekaligus buka puasa bersama. Tanggapan yang menggembirakan dari semua peserta mewarnai kelahiran antologi ini, Tajuddin Noor Ganie sebagai penanggap memberikan apresiasi yang membanggakan setelah dunia pantun tidak lagi ditekuni masyarakat. Begitu pula, budayawan dan sastrawan yang merasa ada nuansa baru dalam pantun Banjar yang disusun oleh Maria Roeslie - sebut saja Sirajul Huda, Ibrahim Barbary, Sirajuddin, Mukhlis Maman, serta Syarifuddin R dan Taufik Arbain. Hingga, Yusran Pare selaku pemandu acara mengakui bahwa penulis Maria Roeslie merupakan sosok unik dengan latar belakang bankir - malah seorang anak Tionghoa - yang lahir di Banjarmasin namun sangat menyintai budaya Banjar. Penggunaan istilah Pantun Banjar yang disarankan Tajuddin Noor Ganie sangat pas - karena kita mengenal suku bangsa Banjar bukan yang berdomisili di Kalimantan Selatan saja, ada urang Banjar di Tembilahan Sumatera Barat dan Serdang Bedagai Sumatera Utara atau Kota Solo, Jogjakarta hingga kulaan Banjar di wilayah Malaysia Timur Hingga, istilah Banjar jelas akan mewakili keberagaman tempat namun memiliki satu bahasa yang khas, yakni Bahasa Banjar.
Rindu Melayu Tionghoa
Sejarah kesusatreaan Nusantara mencatat jumlah karya tulis yang dihasilkan para penulis Tionghoa lebih banyak dibanding angkatan Balai Pustaka dalam rentang waktu setengah abad, terdapat 175 penulis angkatan Balai Pustaka hanya menulis 400 karya. Sementara keberadaan keturunan Tionghoa sudah menulis sejak tahun 1870 sebanyak 3005 karya dengan 806 penulis. Malah, dari karya anak Tionghoa tersebut hampir sebagian besar menulis dalam bahasa Melayu Tionghoa dan penulis angkatan Balai Pustaka menggunakan bahasa Belanda. Salah satu karya yang ditulis Tan Teng Kie (1890) seorang pengusaha yang memiliki toko di kota Batavia berjudul Sya’ir Jalanan Kreta Api menceritakan petaka penggusuran rumah di sepanjang jalan yang akan dibangun perlintasan kereta api dengan biaya ganti rugi yang ditetapkan sepihak oleh pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Beginilah bunyi bait-bait syairnya:
Banyak puhun di tebangin
Ongkos Maskapij semuwa bayarin
Rumah orang pada di buka’in
Kepada juraganlah di serahi
Perhatikan lagi, karya Lie Kimhok (1900) dengan kumpulan syair dan cerita bagi bacaan anak-anak. Inilah buku pertama berbahasa Melayu Tionghoa yang diperuntukkan bagi anak-anak saat itu. Simak syair yang dilantunkan:
Tjimin.
Ai, Siman! kaoe brani tidoer sendiri ?
Ati-ati ! kaoe nanti dipindahin setan.!
Si Koetis tjerita, lagi kapan hari
Ada orang dipindahin ka hoetan.
Siman
Hah, Tjimin! tjerita apa itoe!
Tjoba panggil: – mana dija setan ?
Jang pertjaja sama tjerita bagitoe,
Koerang terang ija poenja ingatan.
Ai, Siman! kaoe brani tidoer sendiri ?
Ati-ati ! kaoe nanti dipindahin setan.!
Si Koetis tjerita, lagi kapan hari
Ada orang dipindahin ka hoetan.
Siman
Hah, Tjimin! tjerita apa itoe!
Tjoba panggil: – mana dija setan ?
Jang pertjaja sama tjerita bagitoe,
Koerang terang ija poenja ingatan.
Logat anak Tionghoa sangat kental dalam bait syair tersebut dipadukan dengan lingua franca orang betawi dan bahasa pergaulan anak-anak yang terasa nyaman dalam sampiran dan isi syair. Dan, bagi masyarakat luas saat itu logat bicara anak Tionghoa ini akrab dan tak pernah menjadi hambatan dalam berkomunikasi lisan, sehingga ketika logat itu ditulis dalam bentuk syair - semua dapat memahaminya.
Rindu Pantun Banjar
Urang Banjar - tidak pernah dipisahkan dengan bahasa lisan bentuk pantun. Setiap aktivitas bermasyarakat selalu ditampilkan tradisi 'bapantun' ini sebagai tuturan yang khas - malah orang Banjar tertentu di kampung menjadi sosok penyampai pantun yang sulit digantikan hingga tutup usianya. Membaca pantun karya Maria Roelie adalah cermin pergaulan anak muda dalam memahami parigal hidup antara sesama mereka malah mungkin usia dewasa dan orang tua. Selama 48 bulan sejak tahun 2009 hingga awal 2013 telah terhimpun sebanyak 535 pantun dengan berbagai genre seperti pantun humor, pantun sedih, pantun pujian, pantun sindiran, pantun gembira, dan pantun nasehat. Bermula dari jejaring sosial - facebook - anak Tionghoa bernama kecil 'Yaya' ini mulai menulis pantun dalam statusnya sebagai tanda berbagi dan pertemanan. Ternyata kesukaan terhadap tuturan pantun menjadi kerinduan yang mendalam terhadap budaya Banjar - ia pun belajar banyak dari literatur dan pergaulan sesama kawan - sebut saja Zulfaisal Putera sang motivator dalam menyusun antologi ini. Bait pantun karya Maria Roeslie bukanlah pantun seperti penulis Melayu Tionghoa zaman Belanda dulu - ketika membaca pantun ini hampir tidak terdapat logat khas anak Tionghoa - malah idiom sampiran dan isi pantun lebih banyak pada kosakata bahasa Banjar pergaulan yang akrab dikenal dalam masyarakat kini. Kalau pun ada sesekali ditemui idiom sampiran yang klasik, maka menurut Maria Roesli itu hasil pencarian di kamus Bahasa Banjar. Kita simak pantun Maria Roesli berikut:
Abah anang tulak ka pasar
Handak manukar tali salawar
sasak hidung tacium papuyu ba'ubar
Maharit liur badiri tasandar
(2010)
Harum manampur buah durian
Buah durian masak paraman
Badadai dari mul sampai ka tapian
Kalu pang tadapat dingsanak dandaman
(2011)
Katur muntung kada tasambat
Katur hati manggarigit
Kaingatan bahari rancak dihambat
Ulun bukah ka higa masigit
(2012)
Baju barinda takana minyak lanjar
Untung kada baluang ulun sudah bingung
Awak di samarinda hati masih di banjar
Kada kawa lakas membuang rindu kampung
(2013)
Ada berbagai moment yang dikisahkan Maria Roeslie melalui bait pantun. Sejak pertama kali menulis pantun hingga sekarang terlihat perkembangan kosakata dan struktur pantun yang digunakan - namun tetap berpijak pada bahasa Banjar yang membesarkannya. Sebagaimana diketahui bahwa salah satu unsur kebudayaan yang mutlak dalam kehidupan manusia adalah bahasa, sementara pantun sebagai produk bahasa merupakan salah satu bentuk kesenian yang berfungsi sebagai sarana hiburan, pemeroleh wawasan, pengetahuan, dan pengalaman. Oleh karena itu, pantun sebagai bagian susastra memiliki nilai dan makna tersendiri bagi pembacanya.
Ayo berpantun;
malam jumahat baharum manyan
malam minggu bajajalan
Ui kakawanan sabarataan
Lakasi pang kita bapapantunan
Tersirat sebuah pesan, bahwa jejaring sosial yang tak kenal usia dan waktu bagi sesiapa pun hendaknya memberikan manfaat yang besar bagi diri sendiri, apalagi jika mampu memberikan dukungan dalam konteks kebudayaan daerah bagai kerinduan anak Tionghoa pada pantun Banjar.
'Bincang Buku, Antologi Pantun Banjar' karya Maria Roeslie digelar Banjarmasin Post Group di Gedung Palimasan, |